{[['
']]}
Judul
Buku : KENAPA
ADA SASTRA
(Novel)
Penulis : Kelopak Biru
Penulis : Kelopak Biru
Penerbit :
Puput Happy Publishing
Cetakan : Cetakan Pertama, Juli 2013
Isi : iv +148 Halaman; 13x19 cm
Cetakan : Cetakan Pertama, Juli 2013
Isi : iv +148 Halaman; 13x19 cm
ISBN :
978-602-7806-23-8
Harga : Rp 35.500,-
Sinopsis:
Vaya penasaran dengan
skenario yang ditulis Tuhan untuk dirinya. Ia heran mengapa ia bisa menyukai
seseorang bernama Sastra. Seorang pemuda dengan karakter paling aneh yang
pernah Vaya kenal. Satu-satunya kakak kelas yang penampilannya paling dewasa,
satu-satunya kakak kelas yang menyukai majalah sastra Horison, anak sastrawan
Tegal, dan salah satu dari beberapa siswa yang rupawan di sekolahnya. Sastra
begitu ramah terhadap siapapun yang ingin bertanya ataupun meminta pertolongnnya. Meskipun sebenarnya pertolongan
itu belum tentu diberikannya, tetapi Sastra tetap akan memasang wajah manis di
depan siapapun. Mungkin itulah yang membuat jantung para siswi berdesir saat di
dekatnya. Namun tidak bagi Vaya. Ia hanya tertarik sisi kesastraan dari seorang
Sastra. Bacaan-bacaan nyastra yang selalu menemani saat istirahat,
cerpen-cerpennya yang dimuat di majalah daerah, dan berhasilnya Sastra menembus
majalah Horison beberapa kali dengan cerpennya, membuat Vaya semakin
mengganggap Sastra begitu menarik melebihi kerupaan wajahnya. Ia tidak tahu
mengapa ia tertarik begitu dalam untuk mengetahui apa itu esai, bagaimana
memahami puisi, dan bagaimana menulis cerpen dari Sastra. Akhirnya dengan
keberanian yang Vaya miliki, gadis itu mencari tahu lewat telfon tanpa pernah
memberi tahu nama dan identitasnya. Hanya alat ciptaan Graham Bell yang
sekiranya dapat membantu Vaya, karena Vaya tidak ingin diketahui bahwa ia
sebenarnya satu sekolah dengan Sastra. Vaya malu seandainya teman-temannya yang
lain memergoki bahwa dia menyukai Sastra. Vaya juga takut jika seandainya
Sastra tahu tentang dirinya, maka apa yang akan dia perbuat? Ia belum siap jika harus berhadapan dengan Sastra.
Hubungan
lewat telfon tersebut berjalan selama lebih dari dua tahun, sampai Vaya
menginjak bangku kuliah. Jurusan yang diambilnya adalah sastra. Agar suatu saat
ketika Vaya bertemu dengan Sastra, ia telah siap dengan ilmu yang memadai dan
menganggap dirinya dapat setara dengan Sastra. Sastra masih ramah seperti
dahulu. Hanya saja Vaya merasa dongkol dengan sikap Sastra yang masih apatis
selama dua tahun tersebut. Dongkol karena pemuda itu tidak juga mengenali suara
Vaya, dan tidak ingin mengetahui siapa suara tanpa nama yang selama ini
menelfonnya, dan selalu bertanya ataupun berdiskusi tentang sastra. Terkadang
kedongkolannya terhadap Sastra surut saat Vaya mengikuti forum kajian tentang sastra
di kampusnya. Dalam forum tersebut Vaya mengenal sosok pemuda yang wajahnya
selalu cerah nan teduh, bernama Ulin Nuha. Vaya kagum dengan Ulin yang rela
mengorbankan tenaga dan harta hanya untuk mendirikan forum kecil dan
memfasilitasi mahasiswa yang hobi menulis. Di balik itu semua Ulin ingin
mengarahkan tulisan teman-temannya agar lebih berbobot dan memiliki visi yang
kuat, serta dapat memberikan pencerahan bagi pembacanya. Forum tersebut
sedikit-sedikit menyadarkan Vaya bahwa selama ini ia hanya mengejar kepopuleran
dari menulis. Selama ini Vaya ingin menjadi novelis, cerpenis, dan penyair
hanya karena ia ingin terkenal. Dan jika ia telah terkenal, maka ia tak akan
malu lagi berhadapan dengan Sastra. Ia akan merasa pantas bersanding dengan
Sastra. Vaya akhirnya sadar bahwa tujuannya menulis dan mengenal sastra selama
ini adalah salah. Ia tidak memiliki sedikitpun tujuan mulia di balik itu semua. Ia semakin
sadar ketika melalui sebuah diskusi tatap muka di sebuah warung fotocopy dengan
Sastra, ia tahu bahwa Sastra yang selama ini dijadikan kiblatnya dalam
bersastra ternyata tidak memiliki tujuan apapun selain hanya menyalurkan
hobinya semata. Vaya kecewa. Namun, kekecewaannya justru memberinya kekuatan
yang besar untuk dapat melupakan Sastra. Epilognya dengan Sastra ia akhiri
dengan mengirimkan novel pertamanya kepada Sastra. Surat bersampul merah jambu
yang menyertai novel itu membuat Sastra sadar bahwa selama ini ia telah
menganggap sepele seorang Vaya. Sastra telah menyia-nyiakan seseorang yang memiliki
potensi untuk menjadi hebat.
Dalam
sebuah acara launcing novel, Vaya mengundang Sastra untuk hadir. Ini kesempatan
yang tepat bagi Sastra untuk mengetahui siapakah seorang perempuan yang pernah
mengidolakannya sejak SMA. Perempuan itu ingin dijadikannya seorang teman hidup
yang bisa berbagi ide bersama. "Perempuan itu tentu tepat menjadi
pendamping hidupku," pikir Sastra. Namun sayang, Sastra terlambat
menyadari hal itu, karena dalam acara launcing tersebut seorang lelaki yang
telah menyadarkan Vaya tentang makna tujuan menulis hingga ia menjadi penulis
yang berhasil kini, mencium pipi Vaya. Sambil mencium pipi Vaya, lelaki itu
membisikkan "Selamat ya, istriku…"
NB: Buku sudah bisa dipesan via inbox FB Futicha Turisqoh III
atau SMS ke 085642560633 / 089666969878
Post a Comment